Misteri Kali Getih : Bekas Medan Pertempuran Yang Angker

Kali Getih - Adalah nama sebuah sungai dari salah satu sumber mata air di lereng gunung Arjuno yang mengalir membelah perkampungan sepanjang desa Randu Agung, kecamatan Lawang kabupaten Malang dan bermuara di sungai Brantas. Dahulu kala, di Kali Getih ini menjadi tempat pertempuran hidup-mati antara tentara kerajaan Gelang-gelang Kediri melawan tentara kerajaan Singasari yang berakhir dengan runtuhnya kerajaan Singasari.

Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak, Korban-korban itu berserakan sepanjang Kali Getih tanpa sempat mendapatkan penguburan yang layak, ada yang mati di antara semak-semak, ada yang tersangkut akar-akar di lereng sungai, ada yang tercebur ke sungai lalu hanyut terbawa arus dan banyak yang tergeletak di pinggir sungai.

Maka, tidak mengherankan jika arwah-arwah prajurit itu menjadi penasaran dan bergentayangan menghantui penduduk sepanjang sungai itu.

gambar kali getih

Sampai saat ini Kali Getih masih menjadi tempat yang angker, menyeramkan dan memiliki banyak misteri.

Kisah berikut ini adalah salah satu kesaksian warga yang tinggal di bantaran Kali Getih, seorang penjual bakso yang merasakan betapa seramnya sungai itu.

Baca Juga : Kali Mewek

Mari kita ikuti kisah berikut ini.

Suara kentongan penjual bakso terdengar memecah kesunyian.

Sehabis sholat Maghrib, gerobak bakso itu sampai di persimpangan jalan. Sejenak Anto sang penjual bakso merasa ragu untuk melanjutkan perjalanannya, belok kanan menuju ke perumahan atau lurus menuju perkampungan.

Saat menengok isi dagangannya ia menghela nafas panjang, masih penuh, hanya berkurang beberapa mangkok saja.

Malam itu, hujan deras baru saja mengguyur desa Randu agung, jalanan masih basah sehingga warganya enggan keluar, mereka lebih nyaman mengunci diri di dalam rumah.

"Kemarin saat lewat perumahan, hanya dua mangkok saja yang terjual. Siapa tahu di perkampungan sana banyak yang mau membeli baksoku." Batin Anto.

gambar penjual bakso

Maka didorongnya gerobak baksonya dengan pelahan. Tiba-tiba terlintas dalam ingatannya cerita tetangga dan orang-orang tua di desanya yang membuatnya ragu, tentang sebuah sungai yang terkenal angker, yaitu sungai yang akan dilewatinya.

"Ah masa bodoh, itu hanya cerita tahayul saja, hantu tidak dapat menyakiti manusia. Buat apa saya takut." Batinnya menguatkan niatnya. Maka dilanjutkan langkahnya mendorong gerobak baksonya menuju ke arah sungai.

Sungai itu membelah daerah itu menjadi dua desa, Randu agung dan Gondang yang dihubungkan sebuah jembatan dengan jalan aspal yang banyak berlobang. Di sebelah kiri jalan menuju jembatan adalah pemakaman, di sisinya banyak tumbuh rumpun-rumpun pohon bambu dan semak belukar. Sebelah kananya adalah ladang-ladang tebu yang sudah selesai dipanen.

Pada malam hari di sepanjang jalan itu lenggang, penduduk desa lebih suka memutar arah mencari jalan lain yang lebih jauh daripada harus melewati jalan itu.

“Tik tok tik tok tik tok,” suara kentongan bakso terdengar memecah kesunyian, memanggil penduduk untuk membelinya.

Gerobak bakso Anto melaju pelahan menuju jembatan dengan tujuan desa Gondang. Di desa itu ada sebuah pondok pesantren dengan ratusan santri, ada kampung Inggris yang banyak siswanya dan penduduk desa yang ramah. Harapannya malam ini setelah turun hujan, mereka merasa lapar dan makanan yang cocok pada cuaca dingin begini adalah bakso.

"Daripada baksoku tidak laku lebih baik saya pergi ke sana." Pikir Anto.

Sebelum melewati jembatan.

"Mas .. Bakso .."

Anto berhenti, telinganya samar-samar mendengar suara panggilan.  Diedarkan pandangannya ke sekelilingnya, tidak ada siapa pun. Hanya semak belukar dan rumpun-rumpun bambu yang bergerak tertiup angin.

Bulu kuduknya meremang, sejenak Anto meragu. Terus atau kembali ke Randu agung, ia memilih kembali. Saat ia memutar gerobaknya terdengar suara memanggil.

"Bakso, kemari saya mau beli." Terdengar suara anak kecil.

Anto menoleh, dilihatnya seorang anak kecil bersama ibunya berdiri di halaman sebuah rumah, melambaikan tangannya. Anto terkesiap, darahnya berdesir, baru saja ia melihat tidak ada siapa pun ditempat itu. Semakin kuat keinginannya untuk kembali maka dipercepat langkahnya sambil mendorong gerobak baksonya.

Namun semakin ia mempercepat langkah kakinya semakin dekat ia dengan sosok anak kecil dan ibunya. Sampai keringatnya bercucuran membasahi tubuhnya sedikit pun ia tidak beranjak dari tempatnya, hingga ia kelelahan dan tidak mampu melangkah lagi.

Sambil terengah-engah, ia berdoa, "Gusti tolonglah hambaMu."

"Oalah Mas, arep tuku baksone kok malah mlayu. Wis rong dino anakku kepingin mangan bakso sampean." Kata ibu itu menggunakan bahasa Jawa.

Melihat penampilan ibu dan anak itu yang selayaknya orang kampung biasa maka timbul keberanian Anto. Maka dengan nafas masih memburu, ia segera melayani pesanan mereka.

Mereka makan dengan lahap seolah sudah berhari-hari tidak makan. Sudah habis beberapa mangkok bakso, mereka masih belum merasa puas. Empat mangkok habis tambah lagi dua mangkok, habis tambah lagi, begitu seterusnya. Hingga mangkok bakso yang dibawa Anto habis.

"Mangkoknya sudah habis Mbak." Kata Anto dengan suara gemetar.

"Kalau habis ya dicuci dulu, itu ada sungai, coba kamu cuci disana!" Kata Ibu itu sambil menunjuk ke arah sungai.

Seperti dihipnotis, Anto menuruti perintah ibu itu,  lalu dengan tertatih-tatih ia membawa mangkok-mangkoknya menuruni jalan setapak menuju sungai.

Sampai di sungai, dengan hati-hati Antok mencuci mangkok-mangkok baksonya. Namun saat tangannya menyentuh air ia merasakan keanehan, airnya lengket, warnanya merah dan baunya amis seperti  darah.
Belum habis rasa herannya, dari arah belakangnya terdengar suara.

"Malam-malam kok nyuci piring disini Mas?"

Anto menoleh dan alangkah terkejutnya ketika dibelakangnya telah berdiri sosok hitam tinggi besar dengan mata merah menyala serta mulut meringis menampilkan gigi-gigi putih dan runcing.

Jantungnya serasa berhenti berdetak, ia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh ke dalam sungai dan kepalanya terbentur batu. Dalam keadaan setengah sadar, Anto hanyut terbawa arus sungai yang lumayan deras sehabis hujan.

Saat kesadarannya pulih, ia mendapati dirinya berada di tengah arus sungai, dengan panik ia mencoba berenang ke pinggir sungai namun malang, sebatang kayu yang hanyut menghantam kepalanya. Anto jatuh pingsan, tubuhnya terbawa arus sungai.

Dalam keadaan hilang kesadarannya, tiba-tiba Anto sudah berdiri di pinggiran sungai. Dari tempatnya berdiri, ia menyaksikan perkelahian atau tepatnya pertempuran bersenjata antara dua pasukan. Sekitar lima puluh orang pasukan kerajaan Kediri melawan lima puluh lebih bala tentara kerajaan Singasari. 

Mereka bertempur mati-matian. Pekik kemenangan dan jerit kematian silih berganti mewarnai pertempuran. Dentang senjata beradu dan keluhan kesakitan tidak membuat surut semangat mereka. Sambil berteriak mereka menusuk, membacok dan menyabetkan senjata yang digenggamnya ke arah musuhnya. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Darah mengalir dari luka-luka ditubuh pasukan yang terluka, sebagian terjatuh ke dalam sungai, sebagian tergeletak di pinggir sungai. Air sungai berubah menjadi darah (getih).

Saat tertegun menyaksikan pemandangan itu, tiba-tiba seorang lelaki datang menghampirinya dengan pedang terhunus yang sudah bermandikan darah. Anto terkejut bukan kepalang, ia melangkah mundur dengan tergesa-gesa. Namun kakinya salah memilih pijakan hingga ia kembali terjatuh ke dalam sungai.

Perutnya kembung karena terlalu banyak minum air sungai yang berwarna merah. Karena panik ia berenang tanpa arah, hingga kepalanya membentur batu. Anto pun kembali pingsan.

Saat ia sadar, ia mendapati dirinya terbaring di bale bambu milik warga yang tinggal di dekat sungai. Warga itu menemukannya lalu membawa ke rumahnya.

Berangsur-angsur kesadaran Anto pulih, hal pertama yang diingatnya adalah gerobak baksonya. Ketika pandangannya tidak menemukan keberadaan gerobaknya di tempat itu, ia bertanya kepada penolongnya.

"Pak, gerobak saya mana?" Tanya Anto panik 

"Gerobak apa?" Bapak itu kembali bertanya.

"Bak .. Baksooo .." Teriak Anto histeris.

"Waktu saya menemukanmu tergeletak di pinggir kali (sungai), saya tidak melihat adanya gerobak." Jelas Bapak itu.

Anto termangu-mangu, masih jelas dalam ingatannya tentang sosok anak kecil dan ibunya, mahluk hitam di pinggir sungai serta pertempuran dua pasukan kerajaan. Hatinya miris bila mengingat kembali pengalaman yang baru saja dialaminya. Benar kata tetangganya jika sungai itu memang angker, karena sungai itu adalah sungai darah atau Kali Getih.

Tidak ada komentar