Sungai Brantas : Asal-usul, Mitos dan Misteri Dibaliknya

Sungai Brantas : Asal-usul, Mitos dan Misteri Dibaliknya - Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas, Kota Batu, yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno, lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang dan Mojokerto.

Di Kabupaten Mojokerto sungai Brantas bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo. Sungai Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas Provinsi Jawa Timur.
Sungai Brantas : Asal-usul, Mitos dan Misteri Dibaliknya

Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim hujan. Potensi air permukaan pertahun rata-rata 12 miliar m³. Potensi yang termanfaatkan sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per-tahun.

Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya.

Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.

Permasalahan pokok di DAS Sungai Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua peristiwa: kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kegagalan panen dan kelaparan menjadi akibat dari kekurangan air di musim kemarau, sebaliknya di musim hujan terjadi bencana yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa.

Selain itu, kondisi aliran air Sungai Brantas juga terkendala oleh endapan sedimen yang dihasilkan letusan Gunung Kelud (+1.781). Setiap 10 hingga 15 tahun, gunung ini meletus – melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Sungai Brantas – yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fluvial pada aliran air Sungai Brantas (Valiant, 2005).

Dibalik fakta-fakta yang menunjukkan pentingnya peranan sungai Brantas bagi masyarakat Jawa Timur terdapat mitos-mitos yang tersimpan dalam aliran air sepanjang sungai Brantas.

Mitos Asal-Usul

Pada masa kerajaan Kahuripan, saat usia Prabu Airlangga sudah tua dan ingin mengundurkan diri lalu menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Kahuripan akan di serahkan kepada Putri Permaisurinya yang hanya seorang, yaitu putri Sanggramawijaya

Namun, putri Sanggramawijaya menolak keinginan Ayahandanya. Karena ia tidak punya keinginan untuk menjadi Raja malah berkeinginan untuk menjadi seorang pertapa.

Prabu Airlangga lalu berkeinginan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari selir, kebetulan sekali, Ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Akan tetapi, Raja Airlangga kebingungan untuk memilih salah satu yang akan di beri tahta Kerajaan Kahuripan.

Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha untuk pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali untuk salah satu putranya. Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga.

Sehingga Raja Airlangga memutuskan untuk membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian untuk kedua putranya yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.

Untuk melaksanakan perintah itu, Empu Baradha terbang sambil membawa Kendi ( Teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia tumpahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Kahuripan.

Ajaibnya, Tanah yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan airnya deras. Sungai itu sekarang bernama Sungai Brantas.

Kerajaan Kahuripan pun sekarang terbagi menjadi dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu Baradha. Prabu Airlangga pun menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Kahuripan itu kepada Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.

Bagian Kerajaan Kahuripan sebelah timur sungai diserahkan kepada Mapanji Garasakan, yang diberi nama Kerajaan Jenggala, sedangkan bagian barat sungai diserahkan kepada Sri Samarawijaya dan kerajaannya diberi nama Kerajaan Panjalu/Kadiri ( sekarang Kota Kediri ).

Fakta Yang Membantah Asal Usul

Jika mitos tentang asal-usul sungai Brantas berasal dari air kendi yang ditumpahkan oleh Mpu Barada maka mitos ini dianggap salah, karena Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah pada tahun 1009-1042.

Sementara sejak abad ke 8, di DAS Kali Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya.

Wilayah hulu DAS Kali Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997).

Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Sungai Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare.

Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing (Lombard, 2000).

Jadi, Sungai Brantas sudah ada sejak masa sebelum berdirinya kerajaan Kahuripan.

Artikel Terkait :

Penunggu Buaya Putih

Cerita tutur tentang keberadaan buaya putih di aliran Sungai Brantas sejak zaman kerajaan kuno Kediri hingga sekarang masih saja menjadi misteri yang tak terpecahkan. Sebab sungai yang digunakan sebagai lalu lintas air sejak masa Empu Sindok pada masa Mataram Hindu, mempunyai penunggu buaya putih dan  selalu minta korban nyawa manusia.

Sungai Brantas : Asal-usul, Mitos dan Misteri Dibaliknya

Berulang kali orang tiba-tiba kalap lalu tenggelam di sungai.

Cerita tentang penunggu buaya putih ini juga banyak diceritakan di catatan Belanda ketika awal-awal pembangunan proyek jembatan lama Kediri sekitar tahun 1836-876.

"Dalam catatan Belanda memang disebutkan bahwa ada buaya putih penunggu jembatan yang dibangun oleh kolonial Belanda," kata Olivier Johanes, pengamat sejarah Indonesia dari Belanda dalam tulisan yang di tulisnya kepada grup Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri (PASAK).

Tetapi, keberadaan buaya putih tersebut, tidak hanya ada di sekitar jembatan lama Kediri melainkan juga ada di aliran Sungai Brantas wilayah Kecamatan Kras Kabupaten Kediri yang dikenal dengan sebutan 'Badug Seketi'.

Menyebrangi Sungai Brantas Akan Kalah

Mitos lainnya yang berkaitan dengan batas wilayah Kediri-Jenggala yaitu sungai Brantas mengatakan jika ada pemimpin atau tokoh masyarakat menyeberangi sungai Brantas maka pemimpin tersebut akan kalah.

Mitos ini muncul karena beberapa kejadian yang terjadi ketika seorang tokoh dari timur sungai Brantas atau sebaliknya menyeberang untuk menyerang lawannya, maka tokoh tersebut akan kalah.

Mitos ini berkembang dalam ruang lingkup yang lebih besar, bahkan seorang kepala Negara atau presiden, jika menyeberangi Sungai Brantas maka pemimpin tersebut akan kalah dalam pertarungan politik dan akhirnya lengser keprabon.

Demikian mitos, misteri dan asal-usul sungai Brantas yang menjadi batas antara kerajaan Kediri dan Jenggala.

Sumber : Berbagai Sumber

Artikel Lainnya :

Tidak ada komentar