Asal-usul Ponorogo : Kota Reog dan Warok

Asal-usul Ponorogo : Kota Reog dan Warok - Ponorogo adalah salah satu kota di Jawa Timur yang terkenal dengan kesenian Reog Ponorogo dan Warok Ponorogo. Saking terkenalnya, bahkan Malaysia, salah satu Negara tetangga yang serumpun dengan Indonesia, mengklaim bahwa Reog Ponorogo adalah salah satu budaya milik Malaysia. Namun bukti-bukti sejarah tidak mendukung pengakuan Malaysia.

Untuk itu, sebagai warga Negara Indonesia, alangkah baiknya jika kita mengetahui sejarah dan asul-usul budaya yang menjadi milik kita dan menjadi kebanggaan bangsa kita. Jangan sampai budaya warisan leluhur kita diakui dan akhirnya menjadi milik Negara lain.
Asal-usul Ponorogo : Kota Reog dan Warok


Berikut ini adalah kisah asal-usul kota Ponorogo

Baca Juga :

Asal-Usul Ponorogo

Pada abad ke XV sebelum bernama Ponorogo, daerah itu bernama Wengker yang termasuk dalam daerah kekuasaan Majapahit, kala itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya ke V. Sedangkan Wengker pada waktu itu dipimpin oleh seorang demang yang bernama Ki Ageng Suryongalam atau Ki Ageng Kutu karena tinggal di desa Kutu – Jetis,

Ki Ageng Suryongalam (Ki Ageng Kutu) adalah seorang yang sakti mandraguna yang mengajarkan ilmu kesaktiannya kepada para pengawal dan anak buahnya. Disamping itu beliau juga mendirikan perguruan-perguruan olah kanuragan yang mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian dan kebatinan. Sehingga muridnya banyak dan rata-rata sakti mandraguna. Itu dikarenakan ilmu yang diajarkan Ki Ageng Kutu.

Karena dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, Wengker setiap tahun harus menghadap (sowan) dan asok bulu bekti ke penguasanya yaitu Majapahit. Namun karena tidak setuju dengan kebijaksanaan raja Brawijaya V, Ki Ageng Kutu mbalela atau mogok, sehingga sudah beberapa tahun tidak mau menghadap dan kirim upeti.

Sebagai bentuk protesnya kepada Raja, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan Reog tidak lain merupakan simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).
Sehingga raja Brawijaya V mengutus salah satu puteranya yang bernama Lembu Kanigoro untuk menyelidiki alasan Ki Ageng Kutu mbalela, tidak mau menghadap dan menyerahkan upeti.

Segera Sang Pangeran berangkat menuju ke Wengker, tapi rupanya Sang Pangeran berkunjung dahulu di tempat kakaknya yaitu Raden Patah yang menjadi Sultan di Demak. Di sana, Lembu Kanigoro sempat belajar tentang taktik perang dan agama Islam. Setelah memeluk agama islam Lembu Kanigoro berganti nama menjadi Bethoro Katong atau Raden Katong.

Setelah merasa ilmunya cukup, Lembu Kanigoro lalu meneruskan perjalanannya ke Wengker ditemani abdi bernama Selo Aji. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seorang muslim  taat yang bernama Ki Ageng Mirah, berasal dari Malang.

Dengan bantuan Ki Ageng Mirah, Raden Katong menyusun kekuatan untuk bertemu dengan Ki Ageng Kutu. Dengan cara baik-baik tapi tetap saja Ki Ageng Kutu menolak dan malah melawan utusan ini. Akhirnya terjadilah perang tanding adu kesaktian dan Raden Katong megalami kekalahan.

Karena kalah sakti, Raden Katong mencari siasat lain dengan cara menikahi puteri pertama Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Sulastri. Barulah ia bisa mengalahkan Ki Ageng Kutu setelah mengambil pusaka saktinya Kyai Puspitorawe.

Setelah Ki Ageng Kutu kalah dan mangkat, para pengikut dan murid-muridnya dikumpulkan oleh Raden Katong diarahkan untuk menjadi Manggala Negeri demikian juga dengan tempat-tempat perguruan tersebut dijadikan tempat untuk menggembleng para pemuda, guna menjadi satria-satria untuk pertahanan daerah yang yang baru,

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel.

Oleh Raden Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog.

Sedangkan para pengikut Ki Ageng Kutu dijadikan sebagai manggala yuda. Para manggala sakti inilah yang pada akhirnya disebut Warok, yaitu para satria yang patriotik untuk belo negeri dan berbudi luhur, berwatak jujur, bertanggung jawab, rela berkorban untuk kepentingan orang lain. Suka bekerja keras tanpa pamrih, adil dan tegas, banyak ilmu, kaweruh luhur dan tentunya sakti mandraguna.

Warok merupakan kebanggaan masyarakat Ponorogo dan memang begitulah pada dasarnya watak karakter dan jiwa yang dimiliki oleh masyarakat Ponorogo dan sudah mendarah daging. Warok berpenampilan sangar, kumis dan jenggotnya lebat brewok, pakaiannya serba hitam, baju potong gulon, celana panjang hitam lebar memakai kain bebet (batik latar ireng) tutup kepala udeng dengan mendolan, dan ini menjadi ciri khas usus-usus (kolor) warna putih panjang dan besar menjulur sampai kaki.

Dalam penyebaran Agama Islam, para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Adapun turunan ke 7 bathara katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di Pacitan, tepatnya di Tulakan. Nama Bathara Katong sendiri diabadikan sebagai nama stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo.

Demikian kisah asal-usul kota Ponorogo.

Tidak ada komentar