Misteri Sosok Mbah Bungkul
Misteri Sosok Mbah Bungkul - Desa Bungkul merupakan kampung legendaris yang berada di tengah kepadatan kota Surabaya. Pada tahun 1920-an desa ini tergusur dan hanya menyisakan sepetak kebun, karena di dalam kebun itu ada makam sosok penyebar agama Islam yaitu Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul.
Bentuk Desa Bungkul masih ditemukan di peta Surabaya terbitan 1872. Bahkan dalam peta Surabaya 1900, desa ini tampak luas dan dipenuhi sawah di bagian barat. Perkampungannya berada di sisi timur Kalimas. Batas selatan desa adalah di persimpangan jalan Marmoyo sekarang, batas sebelah timur di Jl Adityawarman sekarang, dan sebelah utara dibatasi dengan kampung Dinoyo. Ada nama Desa Darmo di utara Desa Bungkul saat itu.
Siapa sosok Sunan yang dimakamkan di desa Bungkul itu? Nama Mbah Bungkul ditemukan di Babad Ngampeldenta terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya terdapat di Yayasan Panti Budaya Jogjakarta. Selain itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta.
Sulitnya menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarahwan mendiang GH Von Faber pada bukunya Oud Soerabaia, terbitan 1931. Faber mencatat kesan Bungkul dalam bahasa Belanda yang kira-kira terjemahannya demikian: Orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar hukuman. Si pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya oleh kelelawar, lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri, dan anak-anaknya akan mendapatkan celaka.
Masih banyak ancaman mengerikan yang ditulis Von Faber.
Saat ini, penjelasan paling banyak dianut oleh masyarakat adalah sosok ini merupakan keturunan Ki Gede atau Ki Ageng dari Majapahit.
Kompleks makam ini eksotis. Di dalamnya masih tersisa suasana Kampung Bungkul di tengah kota yang sibuk. Ada gapura ala Majapahit, terdapat mushala lama, gazebo bersosoran rendah. Belasan makam lain berada di bawah rerimbunan pohon-pohon tua.
Tidak ditemukan kisah yang sahih. Yang bisa di lakukan hanyalah mengumpulkan kepingan-kepingan kisah tentang sosok ini dari beberapa catatan lama itu sekalipun itu juga masih bisa diperdebatkan.
Selain di Taman Bungkul, sejumlah makam pengikut Mbah Bungkul banyak tersebar di kawasan Darmo. Sebagian sudah tergusur, beberapa masih bertahan. Salah satunya di temukan 'tercecer' di depan Kantor Kecamatan Tegalsari Jl. Tanggulangan, sekitar 100 meter dari Jl. Raya Darmo atau 300 meter sebelah utara makam Mbah Bungkul. Namanya makam Mbah Kusir, diyakini kusirnya Mbah Bungkul.
Awalnya Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Ki Ageng Supa mempunyai puteri bernama Dewi Wardah.
“Benar, dikalangan Wali sanga, Sunan Ampel memang paling tua, tapi Mbah Bungkul itu salah satu penyebar agama Islam yang semasa hidupnya satu generasi dengan Syech Asmarakandi bapak Sunan Ampel” .Kata Jarot, seorang pedagang minyak wangi di Kompleks Sunan Ampel.
Berikut ini adalah kisah Mbah Bungkul Mencari Menantu.
Mbah Bungkul mempunyai seorang anak perempuan yang sudah beranjak dewasa, ia menginginkan jodoh bagi anaknya, adalah yang terbaik menurut kriterianya, sehingga Mbah Bungkul mengadakan sayembara.
Di depan rumah Mbah Bungkul ada sebuah pohon delima yang sedang berbuah, “Bagi siapa saja yang bisa mengambil buah delima itu, akan dijadikan menantunya”, begitu sayembara yang diadakan oleh Mbah Bungkul.
Terdengarnya mudah dan tidak muluk-muluk, sehingga banyak orang yang mengikuti sayembara-nya itu. Satu per satu mereka mencoba mengambil buah delima itu, dengan berbagai cara, tapi tidak bisa. Ada yang baru memanjatnya saja sudah jatuh, ada yang bisa memegang buahnya saja tapi tidak berhasil memetiknya, tidak ada satupun yang berhasil mengambil buah Delima itu. Akhirnya mereka menyerah dan kembali dengan tangan kosong.
Pada saat bersamaan Sunan Giri atau Raden Paku mau meminang putri Sunan Ampel untuk dijadikan istrinya, dalam perjalanannya ke rumah Sunan Ampel, Sunan Giri melewati rumah Mbah Bungkul.
Ketika Sunan Giri berjalan di depan rumah Mbah Bungkul, buah delima yang menjadi sayembara Mbah Bungkul itu jatuh tanpa ada yang menyentuhnya. Melihat ada buah yang jatuh, Sunan Giri mengambilnya untuk diserahkan kepada pemiliknya.
Mbah Bungkul keluar, melihat buah delimanya jatuh ia memandang ke sekitarnya, lalu melihat Sunan Giri, tidak ada orang lain lagi di sana.
“Wah ini calon menantu saya” Kata Mbah Bungkul.
Lalu dipanggilnya Sunan Giri dan diberitahukan tentang sayembaranya itu. Sunan Giri menolak dengan alasan ia baru saja akan meminang anak Sunan Ampel. Karena Sunan Giri berpegang teguh pada pendiriannya, Mbah Bungkul mengajak Sunan Giri menghadap Sunan Ampel.
Kepada Sunan Ampel, Mbah Bungkul menceritakan tentang sayembaranya dan sesuai dengan isi sayembara itu bahwa yang bisa mengambil buah delima itu akan menjadi menantunya dan yang berhasil mengambil buah delima itu adalah Sunan Giri meskipun tidak sengaja.
Mendengar cerita itu Sunan Ampel maklum dan menyadari bahwasanya Allah-lah yang menentukan jodoh bagi setiap hambaNya. Maka Sunan Ampel merestui Sunan Giri untuk mengawini putri Mbah Bungkul, sehingga dalam satu hari Sunan Giri meminang dua orang istri.
Setelah Sunan Ampel merestuinya, Sunan Giri bersama Mbah Bungkul pulang ke rumah Mbah Bungkul untuk menemui calon istrinya.
Sebelumnya Mbah Bungkul berkata “Jangan kecewa, karena anak saya tidak punya tangan dan kaki, buta, tuli dan bisu. Itu anaknya sedang berada di dapur, coba kamu temui!”.
Sunan Giri menurut, ia berjalan ke dapur disana ia bertemu dengan seorang gadis cantik jelita sedang duduk di balai bambu, karena bukan gadis ini yang dicari, maka ia kembali menemui Mbah Bungkul dan berkata “Tidak ada Mbah.”
“Itu anaknya sedang duduk di dapur.” Jawab Mbah Bungkul.
“Bukan gadis itu Mbah, ia mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tidak seperti keterangan Mbah tadi.” Bantah Sunan Giri.
“Maksud saya begini, ia tidak punya kaki karena kakinya hanya digunakan untuk melangkah di jalan Allah, ia tidak punya tangan karena tangannya digunakan untuk beribadah kepada Allah, ia bisu karena mulutnya hanya untuk menyebut Nama Allah, ia tuli karena telinganya digunakan untuk mendengar yang baik-baik saja, ia buta karena matanya hanya untuk melihat yang baik saja. Begitu Nakmas.” Kata Mbah Bungkul.
“Alhamdulillah …” Sahut Sunan Giri.
Akhirnya Sunan Giri menikahi putri Mbah Bungkul.
Demikian sekelumit kisah mengenai Mbah Bungkul. Tentang siapa sebenarnya Mbah Bungkul, biarlah tetap menjadi misteri.
Wasalam.
Tidak ada komentar