Misteri Lawang Bledheg dan Ki Ageng Selo

Misteri Lawang Bledheg dan Ki Ageng Selo – Jika kita mengunjungi Masjid Agung Demak akan kita temukan sebuah pintu yang dikenal dengan sebutan “Lawang Bledheg” yang artinya pintu petir. Pintu itu adalah pemberian Ki Ageng Selo untuk mengingat kejadian ketika beliau berhasil menangkap petir atau ‘bledheg’.

gambar ki ageng sela

Petir atau dalam bahasa Jawa disebut ‘bledheg’ adalah sosok yang yang ditakuti oleh manusia khususnya bagi masyarakat pedesaan yang hidup dengan mengolah tanah sawah atau ladang. Petir biasanya menyambar benda yang berada pada posisi paling tinggi. Ketika seorang petani berada di sawah maka posisinya paling tinggi dibandingkan tanaman padi sehingga dengan mudah petir akan menyambarnya.

Padahal pada masa itu, dimana Ki Ageng Selo hidup, kehidupan masyarakat Jawa sebagian besar adalah bertani sehingga keberadaan petir atau ‘bledheg’ dianggap sebagai terror yang menganggu pekerjaan petani.
Ketika Ki Ageng Selo berhasil menangkap petir dan memberi tahu cara untuk menangkal petir maka para petani sangat senang dan merasa terbantu. Dengan begitu para petani merasa tenang bekerja di sawahnya tanpa harus berlarian ketika petir menyambar.

Salah satu bentuk penghargaan masyarakat kepada Ki Ageng Selo adalah berupa ukiran kayu yang kemudian disebut “Lawang Bledheg”. Lawang Bledheg bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi “Nogo Mulat Saliro Wani”, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M.

Lawang Bledheg itu dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng Selo.

Asal-usul Ki Ageng Selo

Nama asli Ki Ageng Ngabdurahman Sela menurut sebagian masyarakat adalah Bagus Sogom. Menurut naskah-naskah babad ia dipercaya sebagai keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit.

Dalam kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan, Brawijaya V memiliki anak bernama Bondan Kejawan, yang tidak diakuinya. Bondan Kejawan berputra Ki Getas Pandawa. Kemudian Ki Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memiliki beberapa orang putri dan seorang putra bergelar Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pemanahan, penguasa pertama Mataram.

Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo. Makam ki Ageng selo di desa Tawang, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Ki Ageng Sela Menangkap Petir

Sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan jika dirinya adalah cucu Ki Ageng Selo, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.

“Masyarakat di Jawa, khususnya di pedesaan masih percaya pada mitos ini, bila terjadi petir berteriak sambil berkata, “Gandrik! Aku Putune Ki Ageng Selo” (“Gandrik, Aku cucu Ki Ageng Selo”). Mengatakan kalimat itu sambil  berdiri tegak dengan mengacungkan kepalan tangan ke langit,” ujar Prio, juru kunci makam Ki Ageng Selo.

Cerita tentang penangkapan petir itu dituturkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi yang menyebar ke seluruh penjuru tanah Jawa lalu menjadi legenda.

Alkisah , suatu hari Ki Ageng Sela yang tinggal di desa Tawang , Purwodadi,  pergi ke sawah. Hari itu amatlah mendung, pertanda hari akan hujan. Tak lama memang benar-benar hujan lebat turun.

Halilintar atau bledheg menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. Namun Ki Ageng Sela tetap mencangkul sawah.

Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Ki Ageng. Petir itu konon berwujud seorang kakek-kakek. Ia segera menangkap petir itu.

Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar,” ujar Ki Ageng Selo kepada petir yang berada di tangannya.

Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu,” jawab petir.

Oleh Ki Ageng Selo petir itu lalu diikat di pohon Gandrik. Lega hati penduduk desa,  mereka tak takut lagi disambar petir jika ke sawah.  Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.

Ia tetap meneruskan mencangkul sawahnya. Sesudah hari sore, selesai mencangkul dia pulang sambil membawa petir tadi. Keesokan harinya dia ke Demak,  “ bledheg “dihaturkan kepada Sultan Trenggana di Demak.

Oleh Sultan Trenggana, “bledheg“ ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu.

Pada saat itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya.

Usai minum terdengarlah suara menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.

Untuk mengenang kejadian itu, dibuat gambar kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Pintu itu masih bisa dilihat hingga sekarang yang disebut 'Lawang Bledheg'

Dalam versi lain disebutkan bahwa Ki Ageng Sela pada masa mudanya adalah salah seorang pendekar yang memiliki kecepatan gerak melebihi kecepatan petir. Sehingga terkenal seolah-olah beliau mampu menangkap petir.

Jika kita menangkap makna yang tersirat pada kisah tersebut lalu menghubungkan dengan ilmu pengetahuan maka kita akan menganggap Ki Ageng Sela adalah seseorang yang memahami ilmu listrik.

Petir adalah aliran listrik. Jika salah satu kutubnya atau plus dan minusnya dipisahkan maka aliran listriknya tidak akan berfungsi, seperti ketika Ki Ageng Sela menangkap petir yang berwujud seorang kakek lalu mengikatnya ke sebuah pohon. Seperti mengalirkan listrik ke ‘ground’.

Dan kemudian petir yang berwujud seorang nenek yang membebaskannya setelah memberinya air. Air adalah pengantar listrik yang mengakibatkan plus dan minus bergabung, kakek dan nenek bergabung sehingga terjadilah petir yang membuat kerangkeng besi sang kakek hancur.

Demikian kisah tentang Lawang Bledheg dan Ki Ageng Sela. Kisah yang menjadi legenda itu masih menjadi misteri hingga sekarang.

Tidak ada komentar